jump to navigation

Arah Pembelajaran Bahasa Jawa, Kemana? Maret 4, 2010

Posted by nurwahyudi7 in ARTIKEL.
Tags: , , ,
add a comment

Banyak rumor negatif berkenaan dengan pembelajaran bahasa Jawa di sekolah. Simak saja beberapa pandangan dari sekelompok orang yang mencoba “menyudutkan” keberadaan bahasa Jawa berikut ini :

  • Pertama, menurut mereka, karena hanya pelajaran Muatan Lokal, maka pelajaran bahasa Jawa tidak perlu diajarkan di sekolah dengan alasan globalisasi.
  • Kedua, bahasa Jawa tidak dibutuhkan di dunia kerja. Sehingga secara praktis, bahasa Jawa tidak diperlukan. Maka pembelajaran bahasa Jawa di sekolah menjadi tidak perlu lagi.
  • Ketiga, dalam suasana kebebasan; kesopanan, tata krama, unggah-ungguh, dan budi pekerti yang melekat pada bahasa Jawa tidak diperlukan lagi karena akan mengurangi azas persamaan derajat.
  • Keempat,  pembelajaran bahasa Jawa yang tidak diajar oleh guru fak mata pelajaran bahasa Jawa tidak menjadi persoalan karena tidak berpengaruh terhadap kelulusan siswa. Sehingga dengan alasan tersebut, banyak sekolah merasa tidak perlu mengangkat guru bahasa Jawa walau di sekolah tersebut tidak memiliki guru bahasa Jawa.
  • Kelima, secara yuridis tidak ada kewajiban yang mutlak untuk melaksanakan pembelajaran bahasa Jawa di sekolah, karena dari pemerintah daerah setempat  belum menerbitkan aturan khusus menyoal bahasa Jawa.

Benarkah demikian? Tepatkah pandangan  mereka?
Perlu sikap yang arif untuk menanggapi rumor-rumor negatif tersebut. Banyak tinjauan yang harus dikemukakan guna memberi pemahaman kepada pihak-pihak yang memberikan penilaian negatif terhadap pembelajaran bahasa Jawa. Hal itu perlu dilakukan agar semua pihak dapat mengerti dan memahami akan pentingnya pembelajaran bahasa Jawa di sekolah.
Bila secara praktis, banyak yang memandang bahwa bahasa Jawa tidak perlu diadakan di sekolah atas alasan globalisasi, maka hal ini perlu diklarifikasi lebih mendalam. Kalau kita lihat bagaimana negara-negara maju seperti Jepang, Cina, dan Korea, mampu menembus pasar global dengan tanpa meninggalkan karakter budaya sendiri, maka aset kultur Jawa (yang sekaligus sebagai aset bangsa Indonesia) ini harus terus dibina dan dikembangkan.
Globalisasi tidak menjadi hambatan untuk menjaga, membina dan mengembangkan kultur adi luhung bahasa Jawa. Ungkapan yang menyatakan, “berpikir global, berwatak dan bertindak lokal” tepat diterapkan. Bahasa Jawa yang memiliki karakter kuat untuk memupuk budi pekerti, etika, unggah-ungguh, dan tata krama, perlu terus dikembangkan guna membentuk pribadi yang beradab ketimuran. Bahkan, mestinya kita dapat menjual aset lokal ini menjadi aset global yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia. Pemikiran dan tindakan yang mengedepankan prinsip globalisasi tidak dapat dicegah. Namun, bersamaan dengan itu, pembentukan watak budaya sendiri perlu terus dibina agar dari sisi moral, orang Jawa khususnya, bangsa Indonesia pada umumnya, tetap terjaga dari pengaruh-pengaruh budaya barat yang cenderung negatif.
Lantas benarkah, bahwa bahasa Jawa tidak memiliki nilai jual di dunia kerja. Tidak. Justru sebaliknya, pembelajaran bahasa Jawa yang didalamnya melekat etika dan unggah-ungguh, dapat secara praktis diterapkan di dunia kerja. Sebagai contoh, lulusan Sekolah Kejuruan yang bekerja di tempat-tempat layanan umum, membutuhkan keterampilan berbahasa Jawa karena mereka menghadapi pelanggan yang beragam. Pelanggan akan merasa sangat dihormati bila lulusan tadi mumpuni menggunakan bahasa Jawa yang baik disertai sikap dan  etika yang baik pula. Dengan demikian, bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa yang harus dikuasai oleh lulusan Sekolah Kejuruan tadi.
Anggapan lain yang menyatakan bahwa bahasa Jawa tidak sesuai dengan azas persamaan derajat perlu ditinjau lagi. Yang benar adalah bahwa bahasa Jawa mengedepankan penghormatan kepada orang yang memang selayaknya harus dihormati. Seperti misalnya ketika seorang anak berbicara, tentu akan ada bedanya saat dia berbicara dengan teman, dan saat berbicara dengan orang tua. Dari sisi ini adab kesopanan dapat terjaga, nilai penghormatan dapat dibina, dan nilai tata krama tak terhilangkan. Jadi pembelajaran bahasa Jawa di sekolah, menjadi sangat perlu dalam menanamkan sikap dan perilaku yang baik kepada siswa.
Kebijakan Pemerintah
Dalam kaitannya dengan bahasa daerah (yang salah satunya adalah bahasa Jawa), pemerintah pusat telah memberikan payung hukum yang jelas. Amandemen UUD 1945 tahun 2005 pasal 36 telah jelas memberikan keleluasaan bagi bahasa Jawa untuk terus digunakan dan dikembangkan. Keputusan menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 0412/U/U1987 tentang Pengembangan Kurikulum Muatan Lokal, juga memberi angin segar untuk terus dikembangkannya bahasa Jawa di sekolah. Kongres Bahasa Jawa III di Yogyakarta dan Kongres Bahasa Jawa IV di Semarang mengamanatkan pada tiga provinsi (Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta) untuk menyelenggarakan Pengajaran bahasa Jawa secara formal dari  Sekolah Dasar sampai tingkat SLTA (SMA/SMK).
Menyikapi amanat kongres tersebut, Gubernur Jawa Timur, telah menerbitkan  SK Gubernur Nomor : 188/KPTS/013/2005 tertanggal 11 Juli 2005 pada Diktum kedua yang berbunyi :”Kurikulum Mata Pelajaran Bahasa Jawa sebagaimana dalam Diktum pertama, mulai tahun pelajaran 2005/2006 wajib dilaksanakan oleh jenjang Pendidikan Dasar di propinsi Jawa timur, baik sekolah Negeri maupun swasta”.
Keputusan Gubernur tersebut memang belum sepenuhnya memenuhi amanat Kongres, karena baru menyentuh pada tingkatan Pendidikan Dasar (SD/MI dan SMP/MTs). Namun mestinya, dengan Surat Keputusan tersebut, sekolah di jenjang Pendidikan Dasar sudah harus menyelenggarakan pembelajaran Bahasa Jawa. Kenyataannya, di lapangan banyak kita jumpai beberapa sekolah yang enggan menyelenggarakan Pembelajaran Bahasa Jawa dengan alasan bahwa keputusan gubernur tersebut tidak bersifat mengikat, karena secara yuridis, sekolah berada di bawah Pemerintah Kabupaten. Lantas apakah di era sekarang ini SK gubernur sudah tidak memiliki kekuatan apapun di tingkat Pemerintah Kabupaten?
Dari kebijakan pemerintah tersebut jelas, bahwa secara yuridis, aturan main penyelenggaraan pembelajaran bahasa Jawa telah jelas dan tidak perlu dijelaskan lagi. Bahkan kalau kita lihat di Jawa Tengah dan Yogyakarta, pembelajaran bahasa Jawa telah diselenggarakan mulai dari sekolah dasar sampai tingkat SLTA. Sungguh ironis apabila di Jawa Timur, Pembelajaran Bahasa Jawa masih menjadi perdebatan kosong.
Di sisi lain, pembelajaran bahasa Jawa banyak diajarkan oleh guru yang bukan guru bahasa Jawa. Bahasa Jawa diajar oleh guru Matematika, guru  olah raga, atau guru apa saja yang jam mengajarnya sedikit. Apakah yang demikian ini tidak akan menambah terpuruknya pembelajaran bahasa Jawa? Kiranya pertanyaan itu tidak perlu diJawab. Bahkan kita dapat menanyakan lagi, bagaimana seandainya pelajaran matematika, olah raga atau pelajaran lain diajar oleh guru bahasa Jawa? Tentu Jawabnya akan sama dengan pertanyaan pertama.
Oleh karena itu kebijakan pemerintah yang telah memberi keleluasan pembelajaran bahasa Jawa di sekolah, perlu dibarengi dengan pengangkatan guru bahasa Jawa di sekolah. Sebagai contoh data, di Kabupaten Ngawi yang memiliki 50 SMP (tidak termasuk MTsN/MTs/SMP swasta) dengan jumlah siswa lebih dari 25 ribu siswa, hanya memiliki sekitar 15 guru bahasa Jawa saja. Dari data tersebut, kita tidak bisa membantah bila akhirnya pembelajaran di sekolah-sekolah menjadi kurang profesional. Banyak siswa yang merasa kesulitan belajar, karena diawali dari guru yang mengajarnya tidak memiliki kapasitas untuk mengajar mata pelajaran bahasa Jawa.
Dalam hal ini, pemerintah kabupaten, dengan berpayung pada amanat Kongres Bahasa Jawa III dan IV, serta SK Gubernur nomor :188/KPTS/013/2005, perlu membuat kebijakan-kebijakan yang memihak pada kepentingan bahasa Jawa. Antara lain dengan segera menerbitkan Peraturan Daerah yang mengatur wajibnya pembelajaran bahasa Jawa di sekolah mulai dari tingkat Sekolah Dasar sampai SLTA, mengangkat guru bahasa Jawa sesuai kebutuhan yang diperlukan, dan menetapkan arah pembelajaran bahasa Jawa untuk memperkuat posisinya dalam rangka membina kultur kesopanan,  budi pekerti, unggah-ungguh  dan tata krama.
***